PengobatanPenyakit dengan Usada di Bali Dari berbagai usada Bali itu terlihat bahwa sistem pengobatan pada masyarakat Bali sangat lengkap. Kesehatan melingkupi beragam penyakit dengan berbegai jenis pengobatannya. Pengobatan itu melingkupi berbagai siklus kehidupan manusia, mulai dari anak-anak, orang dewasa, dan orang tua. Obat yang diuraikan dalam usada ini diambil dari lingkungan yang ada
Mahasiswa/Alumni Universitas Indraprasta PGRI09 Juni 2022 0122Jawaban yang tepat adalah yang E. Untuk lebih jelasnya, yuk pahami penjelasan berikut. Nama Arya Damar ditemukan dalam Kitab Usana Bali sebagai penguasa bawahan di Palembang yang membantu Majapahit menaklukkan Bali pada tahun 1343. Arya Damar memimpin prajurit menyerang Bali dari arah utara, sedangkan Gajah Mada menyerang dari selatan dengan jumlah prajurit yang sama. Dengan demikian, jawaban yang tepat adalah E. Usana Bali Semoga membantu ya FAYH Kemudian ia membacakan bagi mereka Kitab yang telah ditulisnya -- yaitu Kitab Perjanjian -- yang berisi petunjuk-petunjuk dan hukum-hukum Allah. Orang-orang itu pun berkata, "Kami berjanji dengan sungguh-sungguh untuk menaati semua peraturan itu." ENDE: Lalu diambilnja kitab perdjandjian dan dibatjakannja didepan rakjat. Maka mereka
1. Kehidupan budaya dan sastra zaman Kerajaan Mataram Kuno a. Kehidupan kebudayaan Ketika wangsa Sanjaya menyingkir ke Pegunungan Dieng sejak masa Panangkaran hingga Rakai Pikatan, banyak didirikan candi yang kini dikenal sebagai kompleks candi Dieng. Kompleks candi ini, antara lain, terdiri atas candi Bimo, Puntadewa, Arjuna, dan Nakula. Adapun di Jawa Tengah bagian selatan ditemukan candi Prambanan Roro Jonggrang, Sambi Sari, Ratu Boko, dan Gedung Songo Ungaran sebagai hasil budaya Mataram Kuno. b. Kehidupan sastra Kitab yang berasal dari zaman Mataram Hindu adalah Ramayana dan Mahabharata. Ramayana berasal dari India, ditulis oleh Mpu Walmiki. Pada abad ke-9, kitab tersebut disadur ke dalam bentuk kakawin yang sangat indah, terdiri dari tujuh kanda, yakni Bala Kanda, Ayodya Kanda, Aranya Kanda, Keskenda Kanda, Sudara Kanda, Uddha Kanda, dan Uttara Kanda. Kitab Mahabharata, juga berasal dari India, ditulis oleh Mpu Wiyasa. Kitab yang aslinya terdiri atas delapan belas parwa ini kemudian digubah ke dalam bahasa Jawa Kuno dalam bentuk gancaran atau prosa ringkas. Penggubahannya dilakukan pada zaman Raja Dharmawangsa oleh Vyasa Kres Dwipayana. Kedelapan belas parwa dalam kitab Mahabharata adalah Adi Parwa, Sbha Parwa, Wana Parwa, Wirata Parwa, Udyoga Parwa, Bisma Parwa, Drona Parwa, Kama Parwa, Salya Parwa, Saptika Parwa, Stri Parwa, Santi Parwa, Anusa Parwa, Aswamedika Parwa, Asramawiseka Parwa, Mausala Parwa, Mahaprasanika Parwa, dan Swargarahana Parwa. Mahabharata mengisahkan kehidupan keluarga Raja Bharata dan keturunannya. Dua kelompok keturunannya, Pandawa dan Kurawa, memperebutkan takhta kerajaan yang ditinggalkan Bharata. Pandawa terdiri atas Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa mewakili sisi protagonis. Adapun Kurawa yang berjumlah seratus mewakili sifat antagonis. Pada pokoknya, isi Mahabharata ada tiga. 1 Perebutan takhta kerajaan antara Pandawa dan Kurawa. 2 Ajaran agama, kaum brahmana, dan adat istiadat. 3 Bermacam-macam saga. Adapun pengaruh Buddha dalam bidang sastra tampak dalam kitab berjudul Sang Hyang Kamahayanikan yang ditulis pada zaman Mpu Sindok. Kitab ini merupakan kitab suci agama Buddha Mahayana yang berisi ajaran Buddha Tantrayana. 2. Kehidupan budaya dan sastra zaman Kerajaan Kediri a. Kehidupan kebudayaan Kerajaan Kediri banyak meninggalkan hal yang berguna bagi kehidupan masyarakat. Misalnya, keadaan ekonomi yang stabil, terlihat dari tingkat kemakmuran raja-rajanya, keadaan politik yang stabil agar tidak mengurangi kekuatan bangsa, dan kehidupan budaya diperluas untuk menambah kejayaan bangsa. Seni yang menonjol pada masa Kerajaan Kediri adalah seni bangunan dan seni pahat. Peninggalan-peninggalan berupa patung ditemukan di gua Selomangleng dekat kota Kediri dan desa Memenang. Selain itu, ditemukan candi-candi peninggalan Jayabaya. b. Kehidupan sastra Kesusastraan pada zaman Kerajaan Kediri berkembang maju dan pesat. Masa itu meninggalkan kitab-kitab sastra berikut. 1 Kresnayana, memuat riwayat Kresna semasa kecil. Kresna adalah seseorang yang nakal, tetapi senang menolong. Ia mempunyai kesaktian hebat sehingga dikasihi oleh sesamanya. Ia jatuh cinta kepada Rukhmini dan menculiknya untuk dinikahi. Kitab ini ditulis oleh Mpu Triguna. Cerita lain yang mirip dengan Kresnayana adalah cerita dalam kitab Hariwangsa karya Mpu Panuluh. Cerita itu digubah pada zaman Raja Jayabaya, berisi kisah perkawinan Kresna dengan Dewi Rukhmini. 2 Bharatayuda, dikarang oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh pada tahun 1157 masa pemerintahan Jayabaya. Kitab ini mengisahkan perang antara Pandawa dan Kurawa selama delapan belas hari di Padang Kurusetra. 3 Arjunawiwaha, dikarang oleh Mpu Kanwa pada masa Raja Airlangga. Isinya adalah kisah Arjuna bertapa untuk mencari senjata sebagai alat melawan Kurawa dalam Perang Bharatayuda. Dewa menyanggupi permohonan Arjuna dengan syarat Arjuna dapat mengalahkan raja raksasa, Newatakanaca, yang menyerang kayangan. Arjuna berhasil mengalahkan Newatakanaca sehingga diberi hadiah kenikmatan hidup di kayangan. Kisah itu kemungkinan besar dikarang berdasarkan riwayat Airlangga sendiri dalam kisah Mintaraga. Inskripsi Berikut beberapa episode penting dalam kisah Mahabharata. 1. Episode Nala dan Damayanti melukiskan kesucian dan ketetapan hati seorang istri Damayanti, putri Bhisma terhadap suaminya Nala, Raja Niskada. 2. Episode Bhagawad Gita berisi percakapan antara Kresna dan Arjuna yang sedang bimbang dan cemas dalam menghadapi Bhisma, guru, dan kakeknya. Episode ini disebut drama jiwa manusia sebab apa yang dialami Arjuna dapat terjadi pada setiap manusia. Silsilah Dinasti Bharata Nahusa Jayati Puru Yadawa Dusmanta Bharata Hasti Kuru Pratipa Gangga Santanu Satyawati Parasara Citragada Ambika Wiyasa Datri Bisma Dewabrata Wicitrawirya Ambalika Yamawidura Destarastra Gandari Kunti Pandu Madrim Basudewa 1. Yudistira 1. Nakula 2. Bima 2. Sadewa 1. Baladewa 2. Kresna 3. Sumbadra 3. Arjuna Abimanyu Pandawa Kurawa Duryudana dan 4 Gatotkacasraya, dikarang oleh Mpu Panuluh. Isinya menceritakan perkawinan Abimanyu, putra Arjuna, dengan Siti Sundari atas bantuan Gatotkaca, putra Bima. Cerita ini ditulis pada zaman pemerintahan Jayabaya. Dalam kitab inilah pertama kalinya muncul dewa-dewa asli Jawa yang disebut Punakawan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong yang berperan besar dalam penyelamatan tokoh yang dilindunginya. Punakawan ini selalu mengiringi Arjuna. Punakawan lainnya adalah Jurudyah Prasanta dan Punta, keduanya mengiringi Abimanyu. 5 Bhomakarya, pengarangnya tidak jelas. 6 Smaradhahana, dikarang oleh Mpu Dharmaja. Kitab ini mengisahkan hilangnya suami istri, Dewa Kama dan Dewi Ratih, karena api yang keluar dari mata ketiga Dewa Syiwa. Kama dan Ratih menjadi manusia dan mengembara di dunia untuk menggoda manusia. Kitab ini dibuat pada masa pemerintahan Kameswara. Dalam kitab Smaradhahana, Kameswara dianggap sebagai titisan Dewa Kama. Istri Kameswara yang bernama Sri Kirana, putri dari Kerajaan Jenggala yang cantik, dianggap sebagai titisan Dewi Ratih. Dalam kesusastraan Jawa, Kameswara disebut sebagai Panji Asmoro Bangun, Panji Inu Kertapati, atau Panji Kudawanegpati. Adapun Sri Kirana disebut sebagai Candhrakirana. Hubungan antara kedua sejoli itu menjadi dasar cerita ini. 7 Wrttassancaya dan Lubdhaka, dikarang oleh Mpu Tanakung. 8 Kitab sastra Ling Wai Taita, disusun oleh Chou Ku Fei. Kitab ini merupakan tulisan dari negeri Cina yang disusun oleh Chou Ku Fei yang berisi mengenai gambaran kehidupan, tata pemerintahan, dan keadaan istana atau benteng pada masa Kerajaan Kediri. Selain itu, diceritakan pula kondisi kemakmuran negara. Raja memakai sepatu yang terbuat dari kulit, perhiasan emas, pakaian sutra, serta menunggang gajah atau kereta. Kitab ini juga menceritakan adanya pesta air laut dan perayaan di gunung bagi rakyat. 9 Kitab Chu Fang Chi, ditulis oleh Chan Ju Kua dalam bahasa Cina pada abad ke-13 yang menceritakan bahwa di Asia Tenggara tumbuh dua kerajaan besar dan kaya, yaitu Jawa dan Sriwijaya. Kitab ini juga menceritakan keadaan tanah jajahan dan sifat rakyat kedua negara tersebut. 3. Keadaan budaya pada masa Kerajaan Singasari Pada masa Kerajaan Singasari, kebudayaan lebih banyak bersifat fisik. Peninggalan-peninggalan yang ditemukan umumnya berupa candi dan patung. Candi-candi tersebut adalah candi Kidal, candi Jago, dan candi Singasari. Adapun patung-patung yang ditemukan adalah patung Ken Dedes yang diwujudkan dalam wujud Prajnaparamita lambang kesempurnaan ilmu, patung Kertanegara dalam wujud Joko Dolog yang ditemukan dekat Surabaya, dan patung Amoghapasha yang merupakan perwujudan Kertanegara yang dikirim ke Darmasraya ibu kota Kerajaan Melayu. Patung Amoghapasha sekarang dapat dilihat di Museum Nasional Museum Gajah Jakarta. Kedua patung perwujudan Kertanegara, baik Joko Dolog maupun Amoghapasha, menunjukkan bahwa Raja Kertanegara menganut agama Buddha beraliran Tantrayana tantrisme. 4. Keadaan budaya dan kemajuan sastra pada masa Kerajaan Majapahit a. Kehidupan kebudayaan Perkembangan kebudayaan di Kerajaan Majapahit dapat diketahui dari peninggalan-peninggalan berupa candi. Candi-candi peninggalan-peninggalan Kerajaan Majapahit, antara lain, candi Panataran di Blitar, candi Tegalwangi dan Suranana di Pare Kediri, candi Sawentar di Blitar, candi Sumber Jati di Blitar, candi Tikus di Trowulan, dan pintu gerbang Trowulan di Mojokerto. b. Kehidupan sastra Zaman Majapahit menghasilkan banyak karya sastra. Periodisasi sastra masa Majapahit dibedakan menjadi dua, yaitu sastra zaman Majapahit awal dan sastra zaman Majapahit akhir. 1 Zaman Majapahit awal Karya sastra zaman Majapahit awal adalah kitab Negarakertagama karangan Mpu Prapanca 1365, kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular, kitab Arjunawiwaha karangan Mpu Tantular, kitab Kutaramanawa karangan Gajah Mada, kitab Kunjarakarna anonim, dan kitab Prathayajna anonim. a Kitab Negarakertagama karangan Mpu Prapanca ditulis pada tahun 1365, yaitu pada zaman Raja Hayam Wuruk. Kitab ini sangat penting untuk menge-tahui keadaan Kerajaan Singasari pada zaman Ken Arok sampai zaman pemerintahan Hayam Wuruk di Majapahit. Negarakertagama merupakan catatan sejarah yang menguraikan secara terperinci kota Majapahit, wilayah jajahan, candi-candi, dan perja-lanan Hayam Wuruk ke hampir seluruh wilayah Jawa Timur. Di dalamnya juga ditulis mengenai tata pemerintahan, ibu kota, agama, serta upacara Sraddha upacara menghormati roh nenek moyang dengan mendatangi tempat-tempat leluhur yang dilakukan oleh Hayam Wuruk untuk menghormati roh nenek moyangnya, serta untuk penghormatan kepada nenek Gayatri. b Kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular menceritakan Sutasoma, putra raja yang meninggalkan keduniawian dan mendalami agama Buddha. Ia rela mengorbankan diri demi keselamatan sesama. Bahkan seorang raksasa yang gemar makan manusia telah diinsafkan menjadi pemeluk agama Buddha. Dalam kitab ini, terdapat kalimat "Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa", yang artinya tidak ada agama yang mendua, melainkan satu, yakni Hindu-Buddha. Sumber Indonesia Indah, Aksara Gambar Prasasti Negarakertagama peninggalan Singasari di tahun 1273 Saka c Kitab Arjunawiwaha karangan Mpu Tantular menceritakan kisah Raja Arjunasasrabahu dan Patih Sumantri melawan raksasa Rahwana. d Kitab Kutaramanawa, ditulis oleh Gajah Mada. Kitab hukum ini disusun berdasarkan kitab hukum yang lebih tua, yakni Kutarasastra dan kitab hukum Manawasastra, yang kemudian disesuaikan dengan hukum adat pada masa itu. e Kitab Kunjarakarna, tidak diketahui nama pengarangnya. f Kitab Parthayajna, tidak diketahui pengarangnya. 2 Zaman Majapahit akhir Karya sastra zaman Majapahit akhir ditulis dengan bahasa Jawa dalam bentuk tembang kidung dan gancaran prosa. Karya-karya sastra pada zaman ini adalah kitab Pararaton yang berisi tentang riwayat raja-raja Majapahit, kitab Sundayana berisi tentang Peristiwa Bubat, kitab Sorandaka menceritakan tentang Pemberontakan Sora di Lumajang, kitab Ranggalawe tentang Pemberontakan Ranggalawe dari Tuban, kitab Panji Wijayakrama berisi tentang riwayat Raden Wijaya, kitab Usana Jawa menceritakan tentang penaklukkan Bali oleh Gajah Mada, kitab Usana Bali mengisahkan tentang kekacauan Bali akibat keganasan Maya Danawa, kitab Pamancangah, kitab Panggelaran, kitab Calon Arang, kitab Korawasrama, Carita Parahyangan, Babhuksah, Tantri Kamandaka, dan Pancatantra. Berikut karya-karya sastra yang terpenting. a Kitab Pararaton menceritakan riwayat raja-raja Singasari dan Majapahit. Karena kitab ini terlalu banyak mengandung mitos, kebenaran isinya sekarang sering kali diabaikan. Sampai sekarang, pengarang kitab ini belum diketahui sehingga dianggap anonim. Kitab ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berisi riwayat Ken Arok dari lahir sampai menjadi raja, sedangkan bagian kedua berisi kisah sejarah Kerajaan Majapahit mulai dari Raden Wijaya, Jayanegara, pemberontakan Ronggolawe dan Sora, Perang Bubat, dan daftar nama raja-raja sesudah Hayam Wuruk. b Kitab Sundayana menceritakan Peristiwa Bubat. Penulisnya tidak dikenal. Kitab ini menceritakan tentang Perang Bubat antara Majapahit dan Pajajaran di Lapangan Bubat, Majapahit. Perang tersebut terjadi sewaktu Raja Pajajaran Sri Baduga Maharaja datang ke Majapahit untuk mengantarkan putrinya Dyah Pitaloka yang dipersunting Hayam Wuruk. Namun, setelah rombongan menginap di Bubat, Hayam Wuruk yang semula berniat mengambil Dyah Pitaloka sebagai permaisuri mengubah rencananya. Akibat pengaruh Gajah Mada, Hayam Wuruk hanya akan menjadikan Dyah Pitaloka sebagai selir. Hal ini mengundang kemarahaan Sri Baduga Maharaja dan terjadilah Perang Bubat. Sumber Indonesia Indah, Aksara Gambar Kitab Walandit, telah menggunakan aksara dan bahasa Jawa Kuno, c Kitab Tantu Panggelaran tidak diketahui pengarangnya. Kitab ini menceritakan Batara Guru menugasi para dewa untuk mengisi Pulau Jawa dengan penduduk. Namun, pulau itu guncang sehingga para dewa kemudian memindahkan Gunung Mahameru di India ke Jawa. Dalam proses pemindahannya, beberapa bagian tercecer sepanjang Pulau Jawa sehingga menjadi deretan gunung. Akibatnya Gunung Mahameru diletakkan di ujung timur Pulau Jawa dengan nama Semeru, kemudian Dewa Wisnu menjadi raja pertama di pulau itu. d Kitab Sorandaka menceritakan Pemberontakan Sora kepada Raja Jayanegara karena tersinggung atas sikap raja yang akan mengambil istrinya. e Kitab Ranggalawe menceritakan Pemberontakan Ranggalawe terhadap Raja Majapahit pada masa Raden Wijaya karena menginginkan jabatan sebagai patih di Majapahit. f Kitab Calon Arang menceritakan seorang janda bernama Calon Arang dari desa Girah yang mempunyai anak bernama Ratna Manggali. Ratna Manggali sangat cantik, tetapi belum ada seorang pemuda pun yang melamarnya menjadi istri. Hal ini membuat gusar Calon Arang. Dengan ilmu hitamnya, ia menyebarkan tenung ke seluruh negeri Airlangga. Raja Airlangga kemudian meminta Bharada untuk mengatasi hal ini dengan mengawinkan muridnya, Mpu Bahula dengan Ratna Manggali. Mpu Bahula berhasil menemukan buku sakti Calon Arang dan meng-ambilnya. Akibatnya dalam pertarungan selanjutnya, Calon Arang dikalahkan. g Kitab Panjiwijayakrama menguraikan riwayat Raden Wijaya sampai menjadi raja. h Kitab Usana Jawa berisi penaklukan Pulau Bali oleh Gajah Mada dan Arya Damar, pemindahan Kerajaan Majapahit ke Gelgel, dan penumpasan Raja Raksasa Maya Denawa. i Kitab Usana Bali berisi tentang kekacauan di Pulau Bali akibat keganasan Maya Denawa yang akhirnya dibunuh oleh dewa. j Kitab Pamancangah menceritakan para dewa agung, nenek moyang raja Kerajaan Gelgel di Bali. k Kitab Carita Parahyangan berbahasa Sunda, ditulis akhir abad ke-16, berisi kisah raja-raja Sunda sejak zaman Mataram. Kitab ini menyebut-nyebut Sanjaya, raja Mataram pertama yang merupakan anak Raja Sanna, raja Kerajaan Galuh. Sewaktu terjadi pemberontakan oleh Rahyang Purbasora, Raja Sanna beserta keluarga dibuang ke kaki Gunung Merapi. Akhirnya, Sanjaya berhasil mengalahkan Rahyang Purbasora dan mengangkat dirinya sebagai raja. Kitab ini juga menceritakan kisah Perang Bubat. 5. Keadaan budaya dan kemajuan sastra pada masa Kerajaan Bali a. Kehidupan kebudayaan Ketika Kerajaan Bali diperintah oleh Raja Anak Wungsu, kemajuan kesenian dapat dibedakan menjadi kelompok seni keraton dan seni rakyat. Pertunjukan kesenian rakyat biasanya dilakukan berkeliling untuk menghibur rakyat. Namun, ada kalanya pula kesenian keraton ditujukan bagi masyarakat pedesaan. Hal ini dimuat dalam Inskripsi Dalam kepercayaan Hindu-Majapahit, dikenal adanya Sang Hyang Wenang. Sang Hyang Wenang adalah dewa tertinggi dalam kepercayaan Hindu-Majapahit yang kedudukannya lebih tinggi dari Dewa Syiwa prasasti Julah yang berangka tahun 987 M yang menyebutkan adanya rombongan seni batik i Haji untuk raja maupun ambaran keliling yang datang ke desa Julah. Sangat sulit untuk mengetahui berapa jumlah pemain, namun mereka mendapat upah untuk kemampuan seni. Istilahnya patulak. Patulak untuk Agending i Haji yang datang ke desa Julah sebesar satu masaka mata uang saat itu, sedangkan untuk Agending Ambaran sebesar dua kupang. Jenis-jenis kesenian yang berkembang pada masa itu, antara lain, 1 patapukan seni topeng, 4 pamukul penabuh gemelan, 2 perwayang permainan wayang, 5 abanwal permainan badut, dan 3 bhangin peniup suling, 6 abonjing seni musik angklung. Kehidupan masyarakat di Bali dan kebudayaannya sangat lekat terpengaruh oleh agama Hindu. Agama Hindu yang berkembang di Bali ini sudah bercampur dengan unsur budaya asli. Salah satu contoh yang paling nyata dapat dilihat adalah bahwa dewa tertinggi dalam agama Hindu-Buddha bukanlah Syiwa, melainkan Sang Hyang Widhi yang sama kedudukannya dengan Sang Hyang Wenang di Jawa. Sebagai tempat suci, dahulu digunakan candi. Tetapi, sejak berdirinya Kerajaan Gelgel dan Klungkung, penggunaan candi sebagai tempat suci dihapus. Sebagai pengganti fungsi candi dibuatkan kuil berupa kompleks bangunan yang sering disebut pura. Pada waktu upacara, dewa atau roh yang dipuja diturunkan dari surga dan ditempatkan pada kuil untuk diberi sesaji sebagai penghormatan. Upacara itu, misalnya diadakan pada hari Kuningan hari turunnya dewa dan pahlawan, pada hari Galungan menjelang Tahra dan Saka, dan hari Saraswati pelindung kesusastraan. Pura dalam lingkungan kerajaan disebut Pura Dalem, bentuknya seperti candi Bentar dan dimaksudkan sebagai kuil kema-tian. Adapun untuk keluarga raja di-buatkan pura khusus yang disebut Sanggah atau Merajan. Di Bali, dewa tidak dipatungkan. Patung-patung di Bali hanya berfungsi sebagai hiasan. Adanya patung dewa di Bali diyakini sebagai bukti adanya pengaruh Jawa. Di dalam kuil dibuatkan tempat tertentu yang disediakan untuk tempat turunnya dewa atau roh nenek moyang yang telah menjalani prosesi ngaben. Ngaben adalah budaya pembakaran mayat atau tulang surga. Pembakaran mayat adalah suatu kebiasaan di India yang diadaptasi di Bali. Roh yang telah menjalai upacara ngaben dianggap telah suci. Ida Sang Hyang Widhi sebagai dewa tertinggi tidak dibuatkan pura khusus, namun pada setiap kuil dibuatkan bangunan suci untuknya berbentuk Padmasana atau meru beratap dua. Masyarakat Bali mengenal pembagian golongan atau kasta yang terdiri dari brahmana, ksatria, dan waisya. Ketiga kasta tersebut dikenal dengan Triwangsa. Di luar ketiga golongan tersebut masih ada lagi golongan yang disebut Jaba, yaitu anggota masyarakat yang tidak memegang pemerintahan. Tiap-tiap golongan mempunyai tugas dan kewajiban yang tidak sama dalam bidang keagamaan. b. Kehidupan sastra Masa pemerintahan Jayasaksi menghasilkan kitab undang-undang, yaitu kitab Usana Widhi Balaman dan Rajarana. Kitab ini juga dipakai pada masa pemerintahan Ratu Sakalendukirana dan penerusnya. Dari prasasti-prasasti yang ditemukan, diketahui bahwa pada masa pemerintahan Jayasaksi, agama Buddha dan Syiwa berkembang dengan baik. Aliran Waisnawa juga berkembang pada waktu itu. Raja Jayasaksi sendiri disebut sebagai penjelmaan Dewa Wisnu. 6. Keadaan budaya dan kemajuan sastra pada masa Kerajaan Pajajaran Kehidupan masyarakat Kerajaan Sunda dapat digolongkan menjadi seniman pemain gamelan, pemain wayang, penari, dan badut, petani, pedagang, dan sebagainya. Mata pencaharian masyarakat Sunda yang utama adalah pertanian dan perdagangan. Bukti dan petunjuk mengenai masyarakat perladangan dapat kita temukan dalam kitab Sastra Parahyangan yang menyebut-nyebut sawah di dalamnya. Kitab Sanghyang Siksakanda juga menyebutkan tentang pengaruh yang merupakan pekerjaan utama masyarakat. Alat-alat yang dipergunakan di ladang adalah beliung, kored, dan sadap. Selain kitab-kitab sastra tersebut, ada pula kitab cerita Kidung Sundayana. Kitab ini menceritakan kekalahan pasukan Pajajaran dalam pertempuran di Bubat dan gugurnya Sri Baduga Maharaja beserta putrinya, Dyah Pitaloka. Kerajaan Sunda atau Pajajaran, seperti halnya Majapahit, juga mengenal kitab Carita Parahyangan. Kitab ini menceritakan bahwa pengganti Raja Sri Baduga Maharaja setelah Perang Bubat adalah Hyang Bhumi Sora. Kesusastraan masa Pajajaran menunjukkan pengaruh Hindu yang sangat kuat di kerajaan tersebut. Pengaruh Hindu ini telah tertanam sejak zaman Tarumanegara abad ke-5 M. Hal ini dibuktikan dengan adanya arca Rajansi dan arca-arca lainnya yang ditemukan di daerah Cibuaya dari abad ke-8 dan 9 M. Diskusi Apakah contoh karya sastra masa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha yang masih dikenal luas di daerah Anda? Bersama teman kelompok, cobalah mengupas kembali isi cerita tersebut dan buatlah susunan ceritanya pada kertas folio. Perbandingkan hasilnya dengan teman-teman dari kelompok lain, lalu buatlah kesimpulan! Inskripsi Salah satu hasil budaya Islam yang cukup terkenal dan sampai sekarang masih tetap berdiri adalah masjid Demak. Masjid ini merupakan lambang kebesaran Demak sebagai kerajaan yang bercorak Islam. Masjid Demak selain kaya dengan ukir-ukiran yang bercirikan Islam juga memiliki keistimewaan, yaitu salah satu tiangnya dibuat dari pecahan-pecahan kayu tatal. C. Perkembangan Tradisi Islam di Berbagai Daerah dari Abad ke-15
Kitabyang dikarang pada 1365 Masehi ini berisi tentang sejarah, perjalanan, dan daerah kekuasaan Kerajaan Majapahit. 2. Kitab Sutasoma. Kitab Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular pada abad ke-14 menceritakan tentang kerukunan hidup beragama di Majapahit. Di dalam kitab ini, terdapat istilah "Bhinneka Tunggal Ika" yang menjadi semboyan NKRI.
78 Cakrawala Sejarah SMAMA Kelas XI Bahasa 4. Keadaan budaya dan kemajuan sastra pada masa Kerajaan Majapahit a. Kehidupan kebudayaan Perkembangan kebudayaan di Kerajaan Majapahit dapat diketahui dari peninggalan- peninggalan berupa candi. Candi-candi peninggalan Kerajaan Majapahit, antara lain, candi Panataran di Blitar, candi Tegalwangi dan Suranana di Pare Kediri, candi Sawentar di Blitar, candi Sumber Jati di Blitar, candi Tikus di Trowulan, dan pintu gerbang Trowulan di Mojokerto. b. Kehidupan sastra Zaman Majapahit menghasilkan banyak karya sastra. Periodisasi sastra masa Majapahit dibedakan menjadi dua, yaitu sastra zaman Majapahit awal dan sastra zaman Majapahit akhir. 1 Zaman Majapahit awal Karya sastra zaman Majapahit awal adalah kitab Negarakertagama karangan Mpu Prapanca 1365, kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular, kitab Arjunawiwaha karangan Mpu Tantular, kitab Kutaramanawa karangan Gajah Mada, kitab Kunjarakarna anonim, dan kitab Prathayajna anonim. a Kitab Negarakertagama karangan Mpu Prapanca ditulis pada tahun 1365, yaitu pada zaman Raja Hayam Wuruk. Kitab ini sangat penting untuk menge- tahui keadaan Kerajaan Singasari pada zaman Ken Arok sampai zaman pemerintahan Hayam Wuruk di Majapahit. Negarakertagama merupakan catatan sejarah yang menguraikan secara terperinci kota Majapahit, wilayah jajahan, candi-candi, dan perja- lanan Hayam Wuruk ke hampir seluruh wilayah Jawa Timur. Di dalamnya juga ditulis mengenai tata pemerintahan, ibu kota, agama, serta upacara Sraddha upacara menghormati roh nenek moyang dengan mendatangi tempat-tempat leluhur yang dilakukan oleh Hayam Wuruk untuk menghormati roh nenek moyangnya, serta untuk penghormatan kepada nenek Gayatri. b Kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular menceritakan Sutasoma, putra raja yang meninggalkan keduniawian dan mendalami agama Buddha. Ia rela mengorbankan diri demi keselamatan sesama. Bahkan seorang raksasa yang gemar makan manusia telah diinsafkan menjadi pemeluk agama Buddha. Dalam kitab ini, terdapat kalimat Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa, yang artinya tidak ada agama yang mendua, melainkan satu, yakni Hindu- Buddha. Sumber Indonesia Indah, Aksara Gambar Prasasti Negarakertagama peninggalan Singasari di tahun 1273 Saka Di unduh dari Perkembangan Kebudayaan Masa Hindu-Buddha .... 79 c Kitab Arjunawiwaha karangan Mpu Tantular menceritakan kisah Raja Arjunasasrabahu dan Patih Sumantri melawan raksasa Rahwana. d Kitab Kutaramanawa, ditulis oleh Gajah Mada. Kitab hukum ini disusun berdasarkan kitab hukum yang lebih tua, yakni Kutarasastra dan kitab hukum Manawasastra , yang kemudian disesuaikan dengan hukum adat pada masa itu. e Kitab Kunjarakarna, tidak diketahui nama pengarangnya. f Kitab Parthayajna, tidak diketahui pengarangnya. 2 Zaman Majapahit akhir Karya sastra zaman Majapahit akhir ditulis dengan bahasa Jawa dalam bentuk tembang kidung dan gancaran prosa. Karya-karya sastra pada zaman ini adalah kitab Pararaton yang berisi tentang riwayat raja-raja Majapahit, kitab Sundayana berisi tentang Peristiwa Bubat, kitab Sorandaka menceritakan tentang Pemberontakan Sora di Lumajang, kitab Ranggalawe tentang Pemberontakan Ranggalawe dari Tuban, kitab Panji Wijayakrama berisi tentang riwayat Raden Wijaya, kitab Usana Jawa menceritakan tentang penaklukkan Bali oleh Gajah Mada, kitab Usana Bali mengisahkan tentang kekacauan Bali akibat keganasan Maya Danawa, kitab Pamancangah , kitab Panggelaran, kitab Calon Arang, kitab Korawasrama, Carita Parahyangan, Babhuksah, Tantri Kamandaka, dan Pancatantra. Berikut karya-karya sastra yang terpenting. a Kitab Pararaton menceritakan riwayat raja-raja Singasari dan Majapahit. Karena kitab ini terlalu banyak mengandung mitos, kebenaran isinya sekarang sering kali diabaikan. Sampai sekarang, pengarang kitab ini belum diketahui sehingga dianggap anonim. Kitab ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berisi riwayat Ken Arok dari lahir sampai menjadi raja, sedangkan bagian kedua berisi kisah sejarah Kerajaan Majapahit mulai dari Raden Wijaya, Jayanegara, pemberontakan Ronggolawe dan Sora, Perang Bubat, dan daftar nama raja-raja sesudah Hayam Wuruk. b Kitab Sundayana menceritakan Peristiwa Bubat. Penulisnya tidak dikenal. Kitab ini menceritakan tentang Perang Bubat antara Majapahit dan Pajajaran di Lapangan Bubat, Majapahit. Perang tersebut terjadi sewaktu Raja Pajajaran Sri Baduga Maharaja datang ke Majapahit untuk mengantarkan putrinya Dyah Pitaloka yang dipersunting Hayam Wuruk. Namun, setelah rombongan menginap di Bubat, Hayam Wuruk yang semula berniat mengambil Dyah Pitaloka sebagai permaisuri mengubah rencananya. Akibat pengaruh Gajah Mada, Hayam Wuruk hanya akan menjadikan Dyah Pitaloka sebagai selir. Hal ini mengundang kemarahaan Sri Baduga Maharaja dan terjadilah Perang Bubat. Sumber Indonesia Indah, Aksara Gambar Kitab Walandit, telah menggunakan aksara dan bahasa Jawa Kuno, ditemukan di Tengger, Jawa Timur Di unduh dari 80 Cakrawala Sejarah SMAMA Kelas XI Bahasa c Kitab Tantu Panggelaran tidak diketahui pengarangnya. Kitab ini menceritakan Batara Guru menugasi para dewa untuk mengisi Pulau Jawa dengan penduduk. Namun, pulau itu guncang sehingga para dewa kemudian memindahkan Gunung Mahameru di India ke Jawa. Dalam proses pemindahannya, beberapa bagian tercecer sepanjang Pulau Jawa sehingga menjadi deretan gunung. Akibatnya Gunung Mahameru diletakkan di ujung timur Pulau Jawa dengan nama Semeru, kemudian Dewa Wisnu menjadi raja pertama di pulau itu. d Kitab Sorandaka menceritakan Pemberontakan Sora kepada Raja Jayanegara karena tersinggung atas sikap raja yang akan mengambil istrinya. e Kitab Ranggalawe menceritakan Pemberontakan Ranggalawe terhadap Raja Majapahit pada masa Raden Wijaya karena menginginkan jabatan sebagai patih di Majapahit. f Kitab Calon Arang menceritakan seorang janda bernama Calon Arang dari desa Girah yang mempunyai anak bernama Ratna Manggali. Ratna Manggali sangat cantik, tetapi belum ada seorang pemuda pun yang melamarnya menjadi istri. Hal ini membuat gusar Calon Arang. Dengan ilmu hitamnya, ia menyebarkan tenung ke seluruh negeri Airlangga. Raja Airlangga kemudian meminta Bharada untuk mengatasi hal ini dengan mengawinkan muridnya, Mpu Bahula dengan Ratna Manggali. Mpu Bahula berhasil menemukan buku sakti Calon Arang dan meng- ambilnya. Akibatnya dalam pertarungan selanjutnya, Calon Arang dikalahkan. g Kitab Panjiwijayakrama menguraikan riwayat Raden Wijaya sampai menjadi raja. h Kitab Usana Jawa berisi penaklukan Pulau Bali oleh Gajah Mada dan Arya Damar, pemindahan Kerajaan Majapahit ke Gelgel, dan penumpasan Raja Raksasa Maya Denawa. i Kitab Usana Bali berisi tentang kekacauan di Pulau Bali akibat keganasan Maya Denawa yang akhirnya dibunuh oleh dewa. j Kitab Pamancangah menceritakan para dewa agung, nenek moyang raja Kerajaan Gelgel di Bali. k Kitab Carita Parahyangan berbahasa Sunda, ditulis akhir abad ke-16, berisi kisah raja-raja Sunda sejak zaman Mataram. Kitab ini menyebut-nyebut Sanjaya, raja Mataram pertama yang merupakan anak Raja Sanna, raja Kerajaan Galuh. Sewaktu terjadi pemberontakan oleh Rahyang Purbasora, Raja Sanna beserta keluarga dibuang ke kaki Gunung Merapi. Akhirnya, Sanjaya berhasil mengalahkan Rahyang Purbasora dan mengangkat dirinya sebagai raja. Kitab ini juga menceritakan kisah Perang Bubat. 5. Keadaan budaya dan kemajuan sastra pada masa Kerajaan Bali a. Kehidupan kebudayaan
Akibatnyadalam pertarungan selanjutnya, Calon Arang dikalahkan. g Kitab Panjiwijayakrama menguraikan riwayat Raden Wijaya sampai menjadi raja. h Kitab Usana Jawa berisi penaklukan Pulau Bali oleh Gajah Mada dan Arya Damar, pemindahan Kerajaan Majapahit ke Gelgel, dan penumpasan Raja Raksasa Maya Denawa. i Kitab Usana Bali berisi tentang 0% found this document useful 0 votes23 views5 pagesCopyrightŠ Š All Rights ReservedAvailable FormatsDOCX, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?0% found this document useful 0 votes23 views5 pagesKarya Sastra Dimasa Hindu Buddha Di IndonesiaJump to Page You are on page 1of 5 You're Reading a Free Preview Page 4 is not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.
4Kitab-kitab yang menjelaskan Kerajaan Majapahit adalah: 1. Kitab Pararaton. Menceritakan tentang raja-raja Singasari dan raja-raja Majapahit. 2. Kitab Negarakertagama. Ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365, menjelaskan tentang keadaan kota Majapahit, daerah jajahannya dan perjalanan Hayam Wuruk mengelilingi daerah kekuasaannya. 3.
ArticlePDF Available AbstractHindu theology from the beginning was different from classical theology. Where religion or divinity does not conflict with science. God is not placed in the sky but exists and permeates His creation. Such a conception of God would be difficult to understand in Western theology. In the text of Usana Bali, concrete and solution-based theology or divinity is implied, which is narrated through the mythology of Tirta Empul and the story of Mayadanawa. Where God in his manifestation as Dewa Indra becomes a liberating agent for the social problems of society. Eradicating the evil king Mayadanawa, providing prosperity through abundant water sources, and giving meaning to the Galungan holiday as an effort to improve the quality of life winning the inner dharma. This research is a literature study, using the Usana Bali text as primary data. The purpose of this research is to explore theological teachings in a mythology, in order to develop the role and social values in Mythology, Social Theology, Usana Bali Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. 8 MITOLOGI TIRTA EMPUL DALAM TEKS USANA BALI KAJIAN TEOLOGI SOSIAL I Gede Arya Juni Arta Institut Agama Hindu Negeri Tampung Penyang Palangka Raya E-mail aryaskeptisisme ABSTRACT Hindu theology from the beginning was different from classical theology. Where religion or divinity does not conflict with science. God is not placed in the sky but exists and permeates His creation. Such a conception of God would be difficult to understand in Western theology. In the text of Usana Bali, concrete and solution-based theology or divinity is implied, which is narrated through the mythology of Tirta Empul and the story of Mayadanawa. Where God in his manifestation as Dewa Indra becomes a liberating agent for the social problems of society. Eradicating the evil king Mayadanawa, providing prosperity through abundant water sources, and giving meaning to the Galungan holiday as an effort to improve the quality of life winning the inner dharma. This research is a literature study, using the Usana Bali text as primary data. The purpose of this research is to explore theological teachings in a mythology, in order to develop the role and social values in it. Keywords Mythology, Social Theology, Usana Bali I. PENDAHULUAN Mitologi Tirta Empul dan Mayadanawa oleh masyarakat sering dianggap sebagai mitos atau kepercayaan yang berhubungan dengan kejadian masa lalu. Pemahaman tersebut menjadikan kepercayaan tersebut hanya berhenti pada sebatas kepercayaan yang diturunkan dari generasi kegenerasi melalui sebuah cerita. Padahal dalam mitologi Mayadanawa dan Tirta Empul, yang termuat dalam lontar Usana Bali, terkandung berbagai nilai-nilai adiluhung yang terselip di dalamnya. Nilai-nilai tersebut hendaknya dapat digali dan dieksplorasi sehingga makna yang terkandung di dalamnya dapat tersingkap dan memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Dalam hal ini, lontar Usana Bali secara eksplisit menyiratkan aspek Teologi Sosial di dalam cerita mitologi tersebut. Donder 2009167-168 menguraikan bahwa Teologi Sosial merupakan kritik sosial atau telaah kritis terhadap persoalan agama atas kemanusiaan. Di mana Teologi Sosial sebagai sebuah ilmu berupaya mencari solusi dalam memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh manusia, dengan mengangkat nilai-nilai ketuhanan untuk memberikan jiwa atau spirit. Dalam hal ini, konsep, ide dan inspirasi teologis ketuhanan diharapkan memberikan inspirasi suci, luhur dan mulia yang memberikan manfaat lebih besar bagi kehidupan manusia. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini penting dilakukan, untuk mengungkap nilai-nilai dan ajaran Teologi Sosial yang termuat dalam lontar Usana Bali, sehingga diharapkan dapat memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Penelitian ini merupakan kajian teks atau kepustakaan yang sumber datanya secara primer berasal dari teks lontar Usana Bali dan didukung oleh teks-teks lainnya yang bersumber dari kitab suci Veda. Penelitian ini memiliki perbedaan MITOLOGI TIRTA EMPUL DALAM TEKS USANA BALI....I Gede Arya Juni Arta, 8-16 9 dari penelitian lainnya, terutama dari sudut pandang kajian yang dilakukan yakni dari aspek Teologi Sosial yang terdapat dalam mitologi Tirta Empul. II. PEMBAHASAN Sinopsis Lontar Usana Bali Lontar Usana Bali merupakan salah satu jenis lontar yang tergolong sebagai babad. Lontar Usana Bali mempergunakan bahasa Jawa Kuna, dan berhuruf Bali aksara Bali. Lontar ini ditulis oleh Puri Belayu Marga Tabanan, seperti yang tersurat pada salah satu bagiannya yang berbunyi “Iti Usana Bali druwe ring Puri Balayu puput sinurat ring diva, Ra, Pa, wara Ugu, sukla paksa ping 9, titi sasih jyesta, rah 0, ten”. Lontar yang berjumlah 40 lembar ini, kini tersimpan di Gedong Kirtya, Singaraja, dengan nomor/kode Va. 5090. Lontar Usana Bali secara umum menceritakan tentang pertempuran raja Mayadanawa dengan Bhatara Indra dan pasukannya sebagai simbolisasi dharma melawan adharma, dan di dalam cerita tersebut tergambarkan tentang asal mula terciptanya Tirta Empul. Ada pun ulasan pokoknya adalah sebagai berikut. Dikisahkan pada awalnya para bhatara Dewata Nawa Sanga turun ke bumi dan berstana di parhyangan-parhyangan untuk menjaga keseimbangan dunia. Di mana bhatara secara etimologi berasal dari kata Sanskerta bhatr yang berarti pelindung. Dalam hal ini, Mpu Sangkulputih ditugaskan untuk menyelenggarakan pemujaan di parhyangan sehingga tercipta suatu keseimbangan dunia. Bhatara Pasupati yang datang dari Gunung Mahameru kemudian memberikan sabda, ketika Mpu Sangkulputih sedang melakukan pemujaan. Diceriterakan Sang Putranjaya datang ke Bali atas perintah dari Bhatara Pasupati demi menjaga pulau Bali sebagai tempat para Dewa. Perjalanan beliau diiringi oleh Bujangga dari Ampel Gading. Mpu Sangkulputih telah tiba di Besakih pada sasih Kartika, dan ditempat tersebut beliau kemudian mendirikan pertapaan sebagai tempat untuk menghubungkan diri dengan para bhatara. Di Bali pada waktu itu diperintah oleh Sang Ratu Jayapangus, dan beliau memerintah dengan baik serta selalu memperhatikan parhyangan-parhyangan di Bali. Kondisi ini kemudian berubah drastis semenjak beliau digantikan oleh putranya yang bernama Sang Mayadanawa. Di mana pada saat pemerintahan Sang Mayadanawa parhyangan-parhyangan tidak lagi dihiraukan. Sang Mayadanawa bahkan melarang rakyatnya untuk sembahyang di parhyangan-parhyangan tersebut. Dikisahkan pemerintahan kerajaan Bedahulu di bawah Sang Mayadanawa memiliki wilayah yang sangat luas hingga wilayah Sasak, Bugis, Sunantara, Madura, dan Blangbangan. Dengan kesaktian yang dimilikinya Sang Mayadanawa bersikap angkuh, sombong dan bahkan mengaku dirinya sebagai dewa Tuhan. Menyaksikan hal tersebut, para bhatara di Besakih menjadi sedih sehingga Mpu Sangkulputih bersama Bhatara Mahadewa dan Dewi Danuh menghadap kepada Bhatara Pasupati di Gunung Mahameru. Dengan demikian, Bhatara Mahadewa bersama Bhatara Indra memberikan senjata untuk membinasakan Sang Mayadanawa, kemudian para bhatara, dewa dan danawa turun ke Bumi dari Keindraan untuk menandingi Sang Mayadanawa yang angkuh itu. Pasukan Mayadanawa dipimpin oleh Sang Yaksa, Sena Yaksa, Sena Kala Dharma Wilsila dan Patih Sura Punggung, kesemuanya adalah patih Mayadanawa yang sakti-sakti. Peperangan sengit terjadi diantara kedua belah pihak. Pasukan Sang Mayadanawa banyak berguguran, dan Sang MAHA WIDYA BHUWANA VOLUME 5, MARET 2022 10 p-ISSN 2621-1025 e-ISSN 2654-4903 Mayadanawa bersembunyi setelah patihnya banyak yang gugur. Pasukan Bhatara Indra dengan komandan perangnya Rajawong dan Sena Raja Brahma terus mengamuk, namun Sang Mayadanawa sangatlah sakti, sehingga tidak dapat dibunuh dengan senjata dan setiap darahnya menetes ke bumi Sang Mayadanawa hidup kembali. Dikisahkan pula dengan suatu daya upaya dari Sang Kalawong, telah menciptakan sungai yang airnya beracun, di mana orang yang minum air sungai tersebut akan meninggal. Dalam situasi ini, banyak pasukan Bhatara Indra yang mati karena minum air beracun tersebut. Menyikapi hal tersebut, Bhatara Indra lalu menciptakan obat untuk menetralisir racun itu. Air sungai yang beracun itu kemudian dipastu disucikan oleh Bhatara Indra sehingga menjadi obat. Sungai tersebut kemudian disebut sebagai toya empul Tirta Empul. Pasukan Bhatara Indra yang meninggal itu kemudian dapat dihidupkan kembali dan penyerangan pun dilanjutkan. Sang Kalawong terus dikejar oleh bala tentara para dewa, dan akhirnya Kalawong dapat dipenggal lehernya hingga mati. Pada akhirnya Sang Mayadanawa pun dapat dibunuh dan darahnya mengalir menjadi sungai yang diberi nama toya Patanu. Air sungai yang telah dialiri oleh darah Sang Mayadanawa kemudian dikutuk oleh Bhatara Indra bahwa apabila ada orang yang minum atau mandi di sungai tersebut niscaya akan kena sakit kulit yang tidak bisa diobati. Persawahan yang diairi oleh aliran air sungai tersebut hasil padinya akan berbau busuk bagaikan bau bangkai dan tidak bisa dimakan. Dikisahkan kemudian, setelah Sang Mayadanawa meninggal, pasukan Bhatara Indra dijamu oleh Mpu Sangkulputih di Besakih dan setelah itu Ida Bhatara moksa. Mpu Sangkulputih amat senang hatinya. Beliau juga mencapai moksa seperti Ida Bhatara. Setelahnya pemerintahan dipegang oleh Sri Aji Jayakasunu, dan atas petunjuk dari Bhatara Mahadewa maka setiap hari Raya Galungan yang jatuh pada hari Budha Kliwon Dunggulan hari rabu Kliwon, wuku Dunggulan dibuatkan sesajen selengkapnya yang dihaturkan kepada para bhatara di parhyangan. Aspek Teologi Sosial dalam Teks Usana Bali Tuhan sebagai Praksis Sosial yang Membebaskan Selama ini teologi lazim dimaknai sebagai suatu diskursus seputar Tuhan. Namun, dalam kerangka paradigma transformatif, teologi semestinya tidak lagi dipahami semata-mata sebagaimana pemaknaan yang dikenal dalam wacana teologi klasik Gereja ortodoks, yakni suatu diskursus tentang Tuhan yang sangat teosentris, yang secara etimologis merujuk pada akar kata theos dan logos. Dengan pemusatan diskursus terutama pada Tuhan dan ketuhanan, sudah barang tentu teologi semacam itu hanya relevan sebagai alas struktur dari religiusitas yang “membela” Tuhan, bukan manusia. Tubaka 2017116 menyatakan bahwa di abad pertengahan teologi disebut the queen of sciences. Hal ini merupakan pola dominasi yang mematikan ruang bagi pemikiran lainnya. Dalam konteks kesejarahan, teologi akhirnya tidak mampu menjawab semua permasalahan manusia yang semakin kompleks. Dengan demikian, teologi membutuhkan disiplin ilmu lainnya. Berdasarkan hal tersebut lahir teologi transformatif yang bersifat egaliter. Gagasan ini menjadi hal baru dikalangan gereja, namun tidak demikian dalam agama Hindu. Teologi Hindu Brahmawidya sejak awal sudah berbeda dengan teologi klasik Gereja ortodok, yang menempatkan Tuhan di atas langit, duduk nyaman disinggasananya. Tuhan seperti ini akan mengalami MITOLOGI TIRTA EMPUL DALAM TEKS USANA BALI....I Gede Arya Juni Arta, 8-16 11 keterasingan, karena terdapat kesenjangan antara Tuhan dengan umatnya. Hal yang sangat kontras diajarkan dalam teologi Hindu, di mana Tuhan berperan langsung sebagai agen perubahan sosial di masyarakat agama dan sains tidak pernah bertentangan serta saling menegasikan dalam Hindu. Hal ini disebutkan dalam Bhagavadgîtâ yadâ yadâ hi dharmasya glânir bhavati bhârata, abhyutthânam adharmasya tadâtmânaA s[jâmy aham. Terjemahan “manakala dharma hendak sirna dan adharma hendak merajalela, saat itu wahai keturunan Bharata, Aku sendiri turun menjelma” Pendit, 198894. Bunyi sloka tersebut memiliki relevansi dengan penggambaran Tuhan dalam teks Usana Bali. Bhatara Indra turun dari Indraloka untuk membantu umat manusia warga Bali pada khususnya dari kekejaman dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh raja Mayadanawa. Dalam konteks ini Tuhan Bhatara Indra dikatagorikan sebagai sebuah praksis sosial yang membebaskan masyarakat dari keangkaramurkaan adharma. Guiterrez dalam Natalie 2000183 menguraikan bahwa praksis menyatakan bahwa kebenaran ada di dalam tindakan yang nyata, sehingga ajaran agama teologi akan langsung menyentuh pada kepentingan sosial- masyarakat. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Rakhman 2013174 bahwa teologi sosial merupakan diskursus pemikiran teologis yang berkaitan dengan realitas kehidupan manusia yang bersifat kontemporer, yang menjadikan manusia sebagai pusat dan muara orientasinya, yaitu untuk memberikan solusi atas problem yang dihadapi masyarakat. Teologi sosial berpangkal pada pengalaman dan masalah manusia dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Dalam situasi ini teologi sosial dapat disebut sebagai teologi kontekstual, karena keterlibatannya hadir dalam menjawab permasalahan- permasalahan sosial masyarakat Julianus Mojau dalam Harorld, 2017135. Dengan demikian, teologi sosial dalam teks Usana Bali adalah sebuah ajaran teologis atau ketuhanan yang bersifat kongkret dan solutif untuk menjawab permasalahan sosial masyarakat. Hal ini tersirat dalam lontar Usana Bali yakni dalam tindakan para bhatara yang turun langsung ke Bumi dari Indra Loka untuk melawan keangkaramurkaan raja Mayadanawa. Tindakan langsung “nyata” ini merupakan sebuah praksis sosial yang bertujuan untuk membebaskan manusia dari adharma. Di mana Tuhan melalui refresentasi Bhatara Indra mengajarkan manusia untuk menidak menolak dan melawan segala jenis kejahatan sosial dan membebaskan dirinya dari hal tersebut. Keangkuhan sebagai Akar dari Kejahatan Sosial Merasa diri lebih pintar, lebih kuat, lebih hebat, lebih benar hyper correct dari orang lain, akan segera melahirkan sikap jumawa, sombong dan angkuh. Hal inilah yang dialami oleh raja Mayadawa. Di mana raja Mayadanawa yang sakti, teguh dan tanpa lawan, mampu menaklukkan banyak kerajaan, sehingga kekuasaan beliau mencapai wilayah Sasak, Bugis, Sunantara, Madura, dan Blangbangan. Kondisi ini mengakibatkan raja Mayadanawa menjadi terlena dan mabuk kesombongan kasuran, sehingga menganggap dirinya sebagai Tuhan. Dengan demikian, rakyat dilarang untuk mempersembahkan yadnya kepada Tuhan para dewata, dan sebaliknya rakyat hanya diperkenankan untuk menyembah dirinya seorang. Keangkuhan raja Mayadawa telah menariknya ke dalam lubang kegelapan avidya. Dalam keadaan ini, raja Mayadanawa tidak lagi dapat membedakan MAHA WIDYA BHUWANA VOLUME 5, MARET 2022 12 p-ISSN 2621-1025 e-ISSN 2654-4903 antara yang baik dan buruk, benar dan salah nirviveka, sehingga kebenaran hanya didasarkan pada kebenarannya sendiri bersifat solipsistik. Dalam kondisi seperti ini maka terjadilah perbuatan yang sewenang-wenang, dan keji yang dilakukan oleh raja Mayadanawa terhadap rakyatnya. Hal ini dijelaskan dalam sloka Bhagavadgîtâ kâmam âúritya duchpûraA dambha mâna madânvitâ%, mohâd g[ihîtvâ sadrâhân pravartante suchivratâ%. Terjemahan “dengan menyerahkan diri kepada nafsu ketidakpuasaan, penuh kepura-puraan, kebanggaan dan kesombongan, memiliki pandangan salah karena ilusi, mereka berbuat hal-hal yang keji” Pendit, 1988318. Raja Mayadanawa telah mengkultuskan dirinya sebagai Tuhan, dan menganggap dirinya berkuasa penuh terhadap semua yang ada di muka bumi, sehingga rakyat tidak diperbolehkan untuk sembahyang ke pura parhyangan. Keadaan inilah yang menyebabkan banyak parhyangan menjadi rusak akibat terbengkalai. Pura atau parhyangan yang ada, selama ini bukan semata- mata hanya menjadi tempat sembahyang bagi masyarakat, tetapi juga sebagai sarana untuk menyatukan umat masyarakat. Dalam hal ini parhyangan berfungsi sebagai wadah sosial kemasyarakatan. Perilaku raja Mayadanawa yang hanya mengikuti keinginan dari hawa nafsu dan kesombongannya tindakan otoriterianisme telah menjadi akar dari kejahatan sosial, yang secara sistemik menyebabkan rakyat masyarakat menjadi sengsara. Kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, ketertindasan, dan ketidakadilan sosial merupakan dampak dari kejahatan sosial yang terjadi. Keadaan ini hampir mirip dengan yang dilukiskan dalam Bhagavadgîtâ asau mayâ hata% œatrur hanichye cha parân api, îúvaro ham ahaA bhogî siddho haA balavân sukhî. Terjemahan “musuh ini telah terbunuh olehku dan yang akan kubunuh pula, aku adalah Tuhan, aku adalah penikmat, aku adalah sempurna, berkuasa dan Bahagia” Pendit, 1988319. Lebih lanjut dinyatakan dalam Bhagavadgîtâ anekachitta vibhrântâ mohajâla samâv[itâ%, prasaktâh kâmabhogechu patanti narake œuchau. Terjemahan “bingung oleh berbagai pikiran, terlibat dalam jaringan keonaran, terseret ke dalam kepuasan nafsu birahi, mereka jatuh ke dalam neraka kejahatan” Pendit, 1988320. Berdasarkan kedua sloka tersebut, maka sangat jelas bahwa orang yang menganggap dirinya sebagai yang sempurna, paling berkuasa, dan bahagia, sejatinya pikirannya telah dibingungkan oleh ilusi kekacauan pikiran. Sigmund Freud dalam Suseno 200685 menyatakan bahwa kelakuan-kelakuan yang aneh, dan berlebihan sangat emosional yang tidak dapat dikendalikan merupakan sikap khas pengidap neurosis. Dalam hal ini yang dimaksud adalah suatu penyakit gangguan mental, yang telah menyebabkan orang bereaksi berlebihan terhadap sesuatu yang dihadapinya. Raja Mayadawa dapat disebut sebagai orang yang mengidap penyakit neurosis kelainan mental, karena bertindak berlebihan dengan menganggap dirinya sebagai Tuhan. Di mana dalam lontar Usana Bali disebutkan bahwa pada pemerintahan raja Mayadanawa, parhyangan-parhyangan tempat suci pemujaan Tuhan tidak dihiraukan dan dibiarkan terlantar, bahkan Sang Mayadanawa melarang rakyatnya untuk sembahyang di parhyangan tersebut. Perilaku ini dapat dikatan sebagai “penyakit neurosis” yang bermuara dari keangkuhan ahamkara. Air sebagai Sumber Kehidupan Sosial Sebanyak tiga perempat bumi ini adalah berupa lautan air, sehingga tidaklah salah MITOLOGI TIRTA EMPUL DALAM TEKS USANA BALI....I Gede Arya Juni Arta, 8-16 13 apabila filsuf Thales sebagai pemikir pertama dari peradaban Yunani klasik, menyatakan bahwa esensi dari dunia ini arche adalah air. Hindu juga menempatkan air sebagai salah satu asas yang vital dalam dunia ini. Di mana air dalam kosmologi Hindu, merupakan bagian keempat dari lima macam zat pembentuk dunia ini panca mahabhuta, yang disebut sebagai apah. Dalam Bhagavadgîtâ VII. 4 disebutkan sebagai berikut bhûmir âpo’nalo vâyuh kham mano buddhir eva ca, ahamkâra itiyam me bhinnâ prakrtir astadhâ. Terjemahan “tanah, air, api, udara, ether, akalbudi, pikiran, dan ego merupa-kan delapan unsur alam-Ku” Pendit, 1988153. Berdasarkan uraian sloka tersebut, maka sangat jelas bahwa air menempati posisi yang sangat penting dalam penciptaan alam semesta, dan sekaligus menjaga keseimbangan alam ini. Bhagavadgîtâ mengungkapkan secara terbalik, dari unsur yang terkasar hingga yang terhalus ether, sehingga sesungguhnya air berada pada urutan yang keempat. Dalam agama Hindu, air juga dianggap sebagai sumber kesucian yang dapat membasuh segala noda kejahatan dan kesalahan. Hal tersebut diuraikan di dalam kitab suci Zgveda Om Idamâpa% pra vahata yatkiA ca duritaA mayi, yadvaham abhidudroha yadva úepa utân[tam. Terjemahan “Ya, Tuhan Yang Maha Kuasa, dosa apa pun yang terdapat pada diri kami, dan kejahatan apa pun yang telah kami lakukan demikian pula kebohongan dan kata-kata keliru yang telah kami ucapkan, semoga dengan air yang diberkahi ini menjauhkan kami dari segala kesalahan tersebut Titib, 1996688. Dengan penjelasan dari mantram tersebut, maka air menempati posisi yang utama dalam agama Hindu, baik sebagai unsur pencipta, pemelihara, dan sekaligus pelebur dari segala kekotoran mala. Sebagai unsur pencipta, air merupakan bagian dari panca mahabhuta apah; sebagai unsur pemelihara, air merupakan sumber kehidupan bagi semua makhluk Bhagavadgîtâ, sedangkan sebagai unsur pelebur, air adalah pembersih segala kekotoran mala. Berhubungan dengan mitologi Tirta Empul toya empul dalam teks Usana Bali, dijelaskan bahwa raja Mayadanawa beserta patihnya Sang Kalawong, berupaya menciptakan sungai yang airnya beracun. Pasukan Bhatara Indra yang merasa kelelahan dan haus, meminum air beracun tersebut, dan seketika pasukan beliau banyak yang meninggal dunia. Menghadapi situasi tersebut, maka Bhatara Indra melakukan yoga dan mengerahkan kekuatan beliau untuk menciptakan penawar racun. Air sungai tersebut dipastu disucikan oleh beliau, dan kemudian airnya diminumkan kepada pasukan beliau. Hal yang ajaib terjadi, di mana pasukan beliau yang sudah meninggal dapat hidup kembali setelah minum air tersebut. Demikianlah air tersebut, kemudian dikenal dengan nama Tirta Empul. Dalam Kamus bahasa Bali dijelaskan bahwa kata kata tirta artinya air suci Gautama dan Ni Wayan Sariani, 2009679, dan kata empul artinya sembul, mancur Gautama dan Ni Wayan Sariani, 2009172. Dengan demikian, Tirta Empul dapat diartikan sebagai sumber air suci, yang mana sekarang tempat ini dikenal dengan Pura Tirta Empul. Kemampuan air sebagai sumber penyembuhan atau pengobatan yang digambarkan dalam teks Usana Bali, sangat sesuai dengan yang dijelaskan di dalam Veda, khususnya dalam kitab Zgveda ¹pa id vâ u bhecajîr âpo amivacâtani% âpa% sarvasya bhecajî%. Terjemahan “air adalah obat, Ia mengusir penyakit-penyakit. Ia menyembuhkan semua penyakit” Titib, 1996564-565. Berdasarkan hal tersebut, maka sangat jelas bahwa air merupakan MAHA WIDYA BHUWANA VOLUME 5, MARET 2022 14 p-ISSN 2621-1025 e-ISSN 2654-4903 sumber dari kehidupan sosial masyarakat. Air dapat melepaskan manusia dari rasa haus dahaga, air dapat dipergunakan sebagai sarana untuk memasak, mencuci, mandi dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Dengan adanya sumber air yang baik, maka akan hidup suatu tatanan masyarakat atau peradaban yang makmur dan sejahtera. Kehidupan masyarakat Bali, yang umumnya bercorak agraris, juga tidak dapat terlepas dari kebutuhan air sebagai sumber irigasi untuk persawahan. Demikian pentingnya fungsi air bagi kehidupan, sehingga masyarakat juga harus bijak dalam memanfaatkan air. Di dalam teks Usana Bali disebutkan bahwa Mayadanawa yang sudah meninggal, darahnya kemudian mengalir dan menjadi aliran sungai yang dikenal dengan nama toya Patanu. Air sungai tersebut dikutuk oleh Bhatara Indra, bahwa apabila ada orang yang minum atau mandi di sungai tersebut niscaya akan terkena sakit kulit yang sukar diobati. Demikian halnya dengan persawahan yang diairi oleh air sungai tersebut, akan berbau busuk bagaikan bau bangkai dan hasil padinya tidak akan bisa dimakan. Hal ini sesungguhnya mengandung nilai kritik terhadap manusia agar mampu menjaga kebersihan air, agar tidak tercemar. Dalam mitologi ini, sengaja ditanamkan sebuah doktrin atau paham yang secara alami, melalui kesan psikologis yang dapat menggugah pikiran masyarakat akan arti pentingnya menjaga kemurnian dan kesucian air. Hari Raya Galungan sebagai Sarana Meningkatkan Kualitas Umat Hindu Semua agama di dunia memiliki hari- hari suci. Dengan demikian maka agama Hindu, juga memiliki hari suci yang dirayakan oleh umatnya. Di antara hari-hari suci umat Hindu tersebut, ada yang dirayakan secara biasa-biasa saja dan ada juga yang dirayakan secara istimewa. Hari suci yang dilaksanakan dengan istimewa disebut sebagai hari raya dan yang dirayakan secara biasa-biasa disebut rerahinan. Pelaksanaan hari raya dalam masyarakat Hindu khususnya Bali bertujuan untuk memperingati peristiwa-peristiwa penting yang memiliki makna historis, filosofis dan teologis. Perayaannya dirayakan secara berkelanjutan rutin dengan maksud untuk mengobarkan semangat kesucian serta makna penting yang terkandung pada hakikat hari suci agama tersebut. Umat Hindu diharapkan dapat menghayati, merenungkan dan melaksanakan dengan penuh kesadaran mengenai hakikat, semangat hidup dan kesucian yang terkandung pada hari-hari suci tersebut. Sehingga, dapat dijadikan sebagai pedoman untuk meningkatkan harkat dan martabat hidup umat menuju kesejahteraan lahiriah dan kebahagiaan batiniah seperti tujuan dari agama Hindu yaitu “moksartam jagad hita ya ca iti dharma”. Dalam tradisi Hindu khususnya agama Hindu dalam masyarakat Bali, perayaan hari raya di bagi menjadi dua yakni yang berdasarkan sasih dan wuku. Sasih artinya bulan dan wuku adalah perhitungan wariga dari hasil pertemuan wuku dengan sapta wara dan panca wara, maka terselenggaralah rerahinan dan hari raya umat Hindu. Dalam setahun umat Hindu melaksanakan dua perayaan hari raya berdasarkan sasih, yakni hari raya Siwaratri dan hari raya Nyepi. Sedangkan hari raya menurut wuku cukup banyak, misalnya adalah hari raya Saraswati, Pagarwesi, Galungan, dan Kuningan. Hari raya Galungan merupakan salah satu dari hari raya yang disucikan oleh umat Hindu, yang secara historis, filosofis dan teologis berhubungan dengan cerita peperangan antara Bhatara Indra dan Mayadanawa. Hari raya ini dirayakan setiap MITOLOGI TIRTA EMPUL DALAM TEKS USANA BALI....I Gede Arya Juni Arta, 8-16 15 210 hari, yaitu pada hari Budha Kliwon wuku Dunggulan. Hari raya Galungan pada hakikatnya memiliki makna sebagai perayaan kemenangan dharma atas adharma. Dalam hal ini adalah kemenangan Bhatara Indra sebagai simbolisasi dharma dan raja Mayadawa sebagai simbolisasi adharma. Dalam hal inilah, umat Hindu diharapkan dapat menghayati, merenungkan dan melaksanakan dengan penuh kesadaran mengenai hakikat, semangat hidup dan kesucian yang terkandung pada hari suci tersebut. Donder dan Ketut Wisarja 2011216-217 menjelaskan bahwa konsep dan pelaksanaan yadnya korban suci yang dilakukan pada setiap hari raya, secara metodologis pedagogis dapat menjadi sarana yang sangat efektif dalam meningkatkan kualitas masyarakat. Hal ini disebabkan karena dalam pelaksanaan hari raya terdapat gagasan yang mengajarkan manusia untuk mencontoh perbuatan mulia yang dilakukan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Pelaksanaan hari raya Galungan harus dijadikan sebagai momen bagi masyarakat khususnya umat Hindu untuk melakukan refleksi diri, guna meningkatkan kualitas hidup umat, dan bukan sebaliknya mendegradasi moralitas umat, lewat perayaan-perayaan yang dilakukan secara salah misalnya sebagai ajang judi, mabuk-mabukan, pesta pora. Perayaan kemenangan dharma bukan berarti dirayakan dengan pesta berlebihan atau mabuk-mabukan, tetapi sebaliknya dengan melakukan pengendalian diri. Donder dan Ketut Wisarja 2011250 menjelaskan bahwa untuk meraih kemenangan, maka manusia mesti harus berjuang untuk menghadapi segala tantangan atau ujian yang dihadapi dalam kehidupan ini. Senjata yang dipergunakan adalah pengendalian diri. Ekspresi kemenangan tersebut akan terwujud dalam perubahan tingkah laku yang semakin mulia atau semakin bijaksana. Bhagavadgîtâ menyebutkan bahwa orang yang mampu mengendalikan dirinya akan mencapai persatuan dengan Tuhan. Vîta râga bhaya krodhâ manmayâ mâm upâúritâ%, bahavo jòâna tapasâ pûtâ madbhâvam âgatâ%. Terjemahan “terbebas dari hawa nafsu, takut dan benci, bersatu dan berlindung pada-Ku, dibersihkan oleh kesucian budi-pekerti, banyak yang telah mencapai diri- Ku” Pendit, 198895. Dalam lontar Usana Bali disebutkan bahwa pasukan Bhatara Indra yang sebelumnya meninggal kemudian dapat dihidupkan kembali dan penyerangan pun dilanjutkan. Patih raja Mayadanawa yang bernama Sang Kalawong terus dikejar oleh pasukan para dewa, hingga akhirnya Kalawong dapat dipenggal lehernya dan mati. Sang Mayadanawa pun pada kesempatan tersebut dapat dibunuh. Dengan demikian, perayaan hari raya Galungan memiliki nilai yang sangat penting bagi peningkatan kualitas umat Hindu, baik secara jasmani maupun rohani penyucian lahir dan batin. Di mana ketika seseorang telah mampu menundukkan hawa nafsunya adharma maka akan “hidup kembali” menang dalam suasana dharma suci lahir batin. III. KESIMPULAN Agama Hindu mengajarkan sebuah ajaran teologi pengetahuan tentang Tuhan, yang sekaligus mengantarkan umatnya untuk menuju tatanan kehidupan masyarakat sosial yang harmonis. Keselarasan antara aspek ketuhanan dan sosial ini disebut dengan ajaran Teologi Sosial, yang dalam agama Hindu bersumber dari kitab suci Veda. Dalam teks lontar Usana Bali Bhatara Indra dapat dikatakan sebagai praksis sosial yang membebaskan, karena Tuhan sendiri hadir di dunia untuk membela dan melindungi masyarakat untuk mengalahkan raja MAHA WIDYA BHUWANA VOLUME 5, MARET 2022 16 p-ISSN 2621-1025 e-ISSN 2654-4903 Mayadanawa sebagai simbol ketidakadilan sosial. Tirta Empul yang diciptakan oleh Bhatara Indra untuk menghidupkan perajuritnya yang terkena racun dari raja Mayadanawa, memiliki makna akan pentingnya air baik sebagai unsur penciptaan alam, pemelihara kehidupan dan pelebur mala atau penyakit. Sehingga, manusia harus bijak dalam mengelola air. Makna historis, filosofis dan teologis dalam cerita ini, dimaknai dalam perayaan hari raya Galungan oleh umat Hindu sebagai kemenangan dharma, yang berfungsi sebagai sarana peningkatan kualitas umat Hindu kesucian jasmani maupun rohani. DAFTAR PUSTAKA Donder, I K. Teologi Memasuki Gerbang Ilmu Pengetahuan Ilmiah tentang Tuhan Paradigma Sanatana Dharma. Surabaya Paramita. Donder dan I Ketut Wisarja. 2011. Teologi Sosial Persoalan Agama dan Kemanusiaan Perspektif Hindu. Surabaya Pâramita. Gautama, W. Budha dan Ni Wayan Sariani. 2009. Kamus Bahasa Bali Bali- Indonesia. Surabaya Paramita. Harorld, Rudy. 2017. Peran “Teologi Sosial” Gereja Protestan Indonesia Di Gorontalo GPIG Dalam Menanggapi Masalah Kemiskinan. Jurnal Jaffray. Vol. 15. No. 1 Lontar Usana Bali Pdf. Diakses dari http// Natalie. 2000. Evaluasi Kritis Terhadap Teologi Gereja Dari Teologi Pembebasan. Jurnal Veritas Pendit, Nyoman S. 1988. Bhagavadgita. Jakarta PT. Daya Fraza Press. Suseno, Franz Magnis. 2006. Menalar Tuhan. Yogyakarta Kanisius. Titib, I Made. 2006. Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya Pâramita. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this Sabda Suci Pedoman Praktis KehidupanI TitibMadeTitib, I Made. 2006. Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya Pâramita.
Yangtidak termasuk faktor-faktor yang mendorong bangsa-bangsa barat pergi ke dunia timur adalah. A. Dikuasainya rute dan pusat-pusat perdagangan di Timur Tengah oleh orang-orang Islam. B. Adanya jiwa petualangan sehingga menggugah semangat untuk melakukan penjelajahan samudra. C. Adanya kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi - Kerajaan Majapahit merupakan salah satu kerajaan terbesar yang pernah berdiri di Nusantara. Kerajaan yang didirikan oleh Raden Wijaya ini berkuasa selama lebih dari dua abad, tepatnya sejak 1293 hingga sekitar awal abad ke-16. Bukti adanya Kerajaan Majapahit dapat diketahui dari beberapa peninggalannya yang masih eksis hingga satu peninggalan Kerajaan Majapahit berupa karya sastra. Perkembangan seni sastra pada masa Kerajaan Majapahit memang sangat pesat, karena didukung oleh perhatian raja-rajanya terhadap kehidupan kebudayaan kerajaan. Salah satu kitab peninggalan Kerajaan Majapahit yang terkenal dan bermutu tinggi adalah Kitab Negarakertagama. Beberapa karya sastra yang ditulis pada masa Zaman Majapahit antara lain, sebagai berikut. Baca juga Kerajaan Majapahit Sejarah, Raja-raja, Keruntuhan, dan Peninggalan Kitab Negarakertagama Kitab Negarakertagama dikarang oleh Mpu Prapanca, yang kemudian menjadi salah satu sumber sejarah terpenting bagi Kerajaan Majapahit. Kitab ini dikarang pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk, tepatnya pada 1365 Masehi. Naskah dari Kitab Negarakertagama terdiri dari 98 pupuh puisi atau syair. Isi Kitab Negarakertagama menguraikan kisah keagungan Prabu Hayam Wuruk dan puncak kejayaan Kerajaan Majapahit. Selain itu, kitab ini menceritakan asal-usul, hubungan keluarga raja, para pembesar negara, jalannya pemerintahan, serta kondisi sosial, politik, keagamaan, dan kebudayaan Kerajaan Majapahit. Baca juga Kitab Negarakertagama Sejarah, Isi, dan Maknanya Kitab Sutasoma Kitab Sutasoma ditulis oleh Mpu Tantular juga pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk. Kitab Sutasoma bercerita mengenai Pangeran Sutasoma. Di dalamnya juga mengajarkan toleransi beragama, khususnya antara Hindu dan Buddha. Di dalam kitab ini, terdapat istilah "Bhinneka Tunggal Ika" yang menjadi sumber inspirasi dirumuskannya semboyan negara NKRI. Selain itu, pada salah satu kitab yang ditulis pada zaman Majapahit ini terdapat istilah Pancasila, yang kemudian menjadi nama dasar negara Indonesia. Baca juga Kitab Sutasoma Pengarang, Isi, dan Bhinneka Tunggal Ika Kitab Pararaton Kitab Pararaton berisi tentang riwayat raja-raja Kerajaan Singasari dan Majapahit. Namun, sampai sekarang, sosok yang menulis karya sastra peninggalan sejarah Kerajaan Majapahit ini masih menjadi misteri. Mengingat tarikh tertua yang terdapat pada naskahnya adalah 1522 Saka 1600 Masehi, diduga Pararaton ditulis antara 1481-1600 Masehi. kompasiana Kitab Pararaton terdiri dari baris yang tertuang dalam 32 halaman seukuran folio. Isi Kitab Pararaton dapat dibagi ke dalam dua bagian, di mana bagian pertama menceritakan tentang riwayat Ken Arok, pendiri Kerajaan Singasari, dan para raja penerusnya. Sedangkan bagian kedua mengisahkan tentang kehidupan Kerajaan Majapahit, mulai dari riwayat pendirinya, Raden Wijaya, hingga daftar raja-raja yang berkuasa dan pemberontakan yang berlangsung pada awal berdirinya dijadikan salah satu sumber sejarah utama Kerajaan Singasari dan Majapahit, beberapa sejarawan meragukan keabsahannya karena sebagian besar isi kitab ini adalah mitos. Baca juga Kitab Pararaton Isi dan Kritik dari Para Ahli Kitab Arjunawijaya Kitab Arjunawijaya adalah salah satu hasil karya sastra di zaman Majapahit yang digubah oleh Mpu Tantular. Karya sastra yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno ini dibuat pada masa pemerintahan Hayam Wuruk. Picasa Lukisan yang menggambarkan pertempuran antara Arjuna Sasrabahu dengan Kitab Arjunawijaya mengisahkan tentang peperangan antara Raja Arjuna Sasrabahu dan Patih Sumantri melawan Rahwana. Ceritanya didasarkan pada Uttara Kanda, bagian terakhir dari Kitab Ramayana. Sejak zaman dulu, cerita Kitab Arjunawijaya sangat populer dan kerap dipertunjukkan dalam pergelaran wayang. Baca juga Kitab Arjunawijaya Pengarang, Isi, dan Kisahnya Kitab Tantu Pagelaran Kitab Tantu Pagelaran menceritakan tentang asal mula Pulau Jawa. Dalam kitab ini diceritakan pemindahan Gunung Mahameru dari India ke Pulau Jawa oleh Dewa Brahma, Wisnu, dan Syiwa. Gunung Mahameru, yang sekarang dikenal sebagai Gunung Semeru, dianggap sebagai paku yang membuat Pulau Jawa senantiasa kokoh. Kitab Panjiwijayakrama Kitab Panjiwijayakrama menceritakan riwayat Raden Wijaya hingga akhirnya menjadi Raja Majapahit. Selain itu, kitab yang ditulis dalam bentuk kidung ini juga berisi kisah pemberontakan Ranggalawe yang terjadi pada awal berdirinya Majapahit. Baca juga Pemberontakan Nambi, Gugurnya Patih Pertama Kerajaan Majapahit Kitab Ranggalawe Kisah pemberontakan Ranggalawe juga diceritakan dalam Kitab Ranggalawe. Ranggalawe adalah salah satu sahabat setia Raden Wijaya, pendiri Majapahit, yang turut berjasa dalam membangun kerajaan. Namun, Ranggalawe akhirnya memberontak pada 1295 akibat hasutan seorang pejabat licik bernama Mahapati. Kitab Usana Jawa Kitab ini mengisahkan penaklukkan Bali oleh Gajah Mada, sebagai salah satu wilayah bawaham Majapahit. Dalam penaklukkannya, Gajah Mada ditemani oleh Aryadamar. Baca juga Pemberontakan Ranggalawe Penyebab dan Kronologinya Kitab Sorandakan Kitab Sorandakan mengisahkan tentang pemberontakan Lembu Sora yang terjadi tidak lama setelah pemberontakan Ranggalawe. Lembu Sora juga merupakan salah satu sahabat Raden Wijaya yang memberontak akibat hasutan Mahapati. Kitab Sundayana Kitab Sundayana menceritakan tentang Perang Bubat antara Kerajaan Majapahit dengan keluarga Kerajaan Sunda. Peristiwa itu menjadi tanda kemerosotan Mahapatih Gajah Mada dan mengakibatkan hubungan Majapahit dengan Sunda menjadi rusak. Referensi Isnaini, Danik. 2019. Kerajaan Hindu-Buddha di Jawa. Singkawang Maraga Borneo Tarigas. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel. fbfRc. 402 103 253 277 481 122 489 456 133

kitab usana bali berisi